Sabtu, 12 April 2014

Tentang Bersyukur

Ibu saya menelepon hampir setiap hari. Seakan tidak mau ketinggalan dengan yang namanya teknologi, hampir setiap hari kedua orang yang amat saya kasihi itu memanfaatkan fasilitas Line dan layanan wi-fi di rumah. Saking seringnya menelepon, saya sampai hafal dengan pola pertanyaan ibu saya. 

Udah makan?

Makannya sama apa tadi ?

Oh, Ibu baru pulang kerja nih. Capek banget...

Ada kabar apa, Neng?

Kadang, karena pertanyaannya sama, saya suka malas-malasan jawabnya. Khususnya untuk pertanyaan yang terakhir, Ada kabar apa, Neng?

Saya pikir Ibu kan baru nelepon dua hari yang lalu. I mean, what could happen in two days? Akhirnya saya menjawab dengan setelan jawaban seperti sebelum-sebelumnya, yaitu 

"Nggak ada kabar apa-apa kok, bu"

Setelah itu, ibu saya akan menceritakan hal-hal apa yang terjadi di kantornya, cerita-cerita menarik di rumah yang 400 km jauhnya dari tempat saya tinggal sekarang, ataupun cerita tentang adik laki-laki saya yang belum juga bisa berhenti dari kecanduannya akan computer game. Secara garis besar, ceritanya selalu sama, meskipun bumbunya kadang-kadang berbeda. Biasanya, setelah sampai di tengah-tengah cerita, Ibu saya punya pola pertanyaan lagi. 

Udah solat belum neng?

Udah ngaji sekalian?

Yang sering saya jawab dengan pola jawaban andalan saya. 

Solatnya udah, tapi ngajinya belum. Hehe.

Setelah itu ibu saya bakal memberikan ceramah panjang lebar tentang betapa pentingnya mengaji yang sudah saya dengar ratusan kali. Kadang saya juga heran sama diri saya sendiri, sudah sebegitu seringnya dinasehatin untuk ngaji, tapi tetep aja ngeyel dengan alasan lupa. Dan ibu saya punya satu kalimat pemungkas yang selalu ada di setiap nasehatnya.

Masa Adis disuruh ngaji aja susah. Coba Adis inget-inget, udah berapa banyak yang Allah kasih buat Adis. Adis harus beryukur, ih, harus banyak-banyak bersyukur...

Iya ya, bersyukur. Be Grateful. 

Betapa mudahnya kata bersyukur itu diucapkan, tapi untuk mengamalkannya, itu lain cerita. 

Waktu seorang teman dapat kesempatan untuk jalan-jalan keluar negeri gratis, saya iri, dan menyikapi perasaan iri itu dengan cara yang salah. Ketika urusan surat-menyurat perihal transfer nilai saya dari Korea ke Universitas disini yang memakan waktu lama, saya marah-marah, merutuki betapa sulitnya berurusan dengan birokrasi di tempat saya kuliah. Saya jadi banyak iri, saya jadi banyak tidak puas, saya jadi banyak sedih, yang ujung-ujungnya, semuanya bikin hidup saya nggak tenang. Saya jadi banyak mengurung diri. Why life is so unfair?


Kemudian, ketika saya memberikan waktu bagi diri saya untuk berpikir, meminjam istilahnya kak Dira, berkencan dengan diri sendiri, saya baru sadar. Nasehat ibu saya yang biasanya masuk kuping kiri keluar kuping kanan itu menyadarkan saya. Ada yang salah dengan diri saya.

Kurang bersyukur, itu masalahnya. 

Ketika saya melihat ke atas, di tempat dimana orang-orang sepertinya mendapatkan banyak kenikmatan dan kemudahan yang lebih daripada saya, saya lupa dengan kenikmatan dan kemudahan milik saya sendiri. Saya 'menyepelekan' kenikmatan dan kemudahan yang saya alami itu bukan apa-apa dibanding orang-orang yang berada di atas saya. Saya terlalu sibuk melihat keatas sehingga saya lupa dengan apa yang saya punya sendiri. Quote tentang bersyukur sudah banyak yang saya baca, kata-katanya indah dan menggerakan hati. Tapi bersyukur, apakah cukup dengan 'hati yang tergerak' ? Atau cukupkah bersyukur dengan mengucapkan 'terima kasih atas segala yang Engkau berikan?' 

Berapa banyak doa saya yang dikabulkan, betapa banyak marabahaya yang dihindarkan, betapa banyak kesulitan yang dihindarkan dari hidup saya, mungkin nggak pernah bisa saya hitung. Saking banyaknya kenikmatan yang saya rasakan, saya sadari lama kelamaan saya jadi sombong, saya jadi lalai, dan saya jadi lembek. 

Bersyukur itu tidak sulit, tapi saking tidak sulitnya, jadi banyak orang yang lupa. 

Tanpa saya sadari, dengan bersyukur, hati saya jadi  lebih tenang. Apa yang saya jalani jadi lebih mudah. Masalah yang saya hadapi jadi lebih ringan. Bersyukur mengajarkan saya untuk berpikir positif.

Bukannya iri lagi ketika teman bisa keluar negeri dengan gratis, tapi saya harus bersyukur, karena saya punya teman seperti dia yang memotivasi saya lagi, kalau dia bisa, saya juga pasti bisa. Ketimbang merutuki pembuatan surat saya yang lama, yang memang tidak bisa dihindari, bukanl]kah lebih baik saya bersyukur tentang kesempatan pergi ke Korea yang saya dapatkan, sehingga saya harus mengurus surat transfer nilai ini?

 I don't want to talk about being grateful as if I'm pro at it, no.
 I am a beginner. I am about to start.










1 komentar: