Senin, 15 Mei 2017

[Review] : Critical Eleven : In Between The Movie and The Novel


Ketika pertama kali dengar kalau Critical Eleven akan diangkat ke layar perak, saya langsung memasukkan film ini ke dalam wishlist 2017 ini. Selain saya suka banget sama novelnya, woro-woro dari si penulisnya, Ika Natassa, yang cukup intens di social medianya juga bikin geregetan abis. Tapi, at the same time, saya juga nggak mau berekspektasi terlalu tinggi. Dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, film apapun, mau sekelas Twilight sekalipun, seringkali kurang nendang begitu diangkat jadi film. Jadi, sebelum masuk studio, saya berusaha untuk santai-santai saja. 

Film ini dimulai dengan apik. Belum apa-apa saya sudah dibuat tersipu-sipu sama percakapan antara Ale dan Anya di pesawat, tempat dimana mereka bertemu. Di novel, kak Ika mengandalkan narasi untuk menggambarkan isi hati tokoh-tokohnya, itu juga yang menurut saya kekuatan dari novel-novelnya kak Ika, so the reader can feel the engagement with the book in their own way. Di novelnya, pembaca bisa tahu bagaimana isi hati dan jalan pemikiran tokoh-tokohnya. Isi hati dan jalan pemikiran tokoh ini yang nantinya menjadi dasar tindakan apa yang akan dilakukan si tokoh. Jadi pembaca bisa mengerti kenapa si Ale melakukan A, karena menurut pikiran dia A, kenapa si Anya melakukan B, karena menurut pikiran Anya ya B. 


Kaver novel Critical Eleven
Makanya, saya pikir ini adalah bagian yang tricky dari mengadaptasi novel ke dalam layar lebar. Kenapa? Karena di layar lebar, ngga mungkin dong penonton disajikan narasi panjang -panjang dari awal dan akhir cerita. Meskipun narasi itu adalah suara hati dari si tokoh-tokohnya, menjadi kunci kekuatan si novel, kenapa banyak orang yang suka atau merasa relatable dengan film itu. Dalam film, penonton diajak untuk jatuh cinta dengan alur : dari mata, turun ke hati. Penonton disajikan adegan-adegan visual, yang setelahnya, penonton bisa berpikir sendiri kenapa ya si Ale ngelakuin A, kenapa ya si Anya melakukan B dan begitu seterusnya. 

Kudos untuk seluruh pemain, staf, dan siapapun yang terlibat dalam film ini, mereka bisa mengemas cerita favorit saya ini menjadi karya yang beautifully crafted. 

Berangkat dari plot, saya rasa dari segi inti cerita, film ini memang sudah kuat dari awal. Critical Eleven ini adalah buku favorit saya, or you can say, buku favorit saya sepanjang masa. Pertama kali saya kenal tulisan kak Ika dari A Verry Yuppy Wedding dan langsung jatuh cinta dengan penulisannya yang mengalir, wity, dan natural. Kalau plotnya, saya rasa, andalan kak Ika adalah menulis sesuatu yang sebenarnya tidak neko-neko, tapi relatable dalam kehidupan pembaca, dan mungkin terjadi - dalam artian tidak terkesan khayalan atau menjual mimpi. Saya rasa ini menjadi oase di tengah maraknya novel-novel romance yang bercerita tentang nikah kontrak, perjodohan, atau cerita-cerita yang sepertinya ditujukan untuk pembaca usia 20 an tapi tokohnya (berpikiran) seperti remaja umur 16 tahunan. Di novel ini, saya bisa merasakan kak Ika yang semakin mapan dalam dunia tulis menulis. Bayangin, hanya dengan satu 'inti permasalahan' yang tak lebih dari tiga baris, sebuah novel ratusan halaman bisa dibuat. Nggak banyak penulis yang bisa memusatkan inti cerita seperti matahari, dimana selanjutnya segala kejadian, tindakan, pikiran tokoh-tokohnya berputar mengelilingi sesuai dengan porosnya masing-masing.

Selain itu, kak Ika biasanya menulis dengan sudut pandang pertama pelaku utama, saya pikir, itu kenapa narasi-narasi dalam novelnya - yang kebanyakan tentang suara hati si tokoh-tokohnya - terasa begitu engaging. No wonder kalau banyak yang suka sama karya-karyanya kak Ika. Jadi, butuh effort ekstra keras untuk men-deliver plot yang sudah kuat ini dalam bentuk film agar tetap kuat dan tetap fokus pada inti ceritanya. Bagaimana mendeliver buku yang sudah segitu engaging nya sama pembaca, menjadi film yang sama engagingnya?

Tentu saja, ini tidak lepas dari artis-artis yang memainkan tokoh dalam Critical Eleven. Reza Rahadian dan Adinia Wirasti. Reza Rahadian, ya udah tahu lah ya. Pengalamannya di dunia akting saya rasa sudah sangat mapan, puluhan karakter sudah dia bawa. Yang paling ikonik, tentunya adalah perannya sebagai Habibie. Of course karakter Ale dan BJ Habibie ini beda sekali, dan menurut saya Reza berhasil melepaskan sisi 'Habibie' itu pada Ale. Namun, yang saya sangat salut disini adalah Adinia Wirasti sebagai Anya.

Di twitternya, kak Ika sering menyebutkan kalau Adinia Wirasti adalah aktris Indonesia paling versatile, bahkan kak Ika memuji pemeran Anya ini dengan sebutan, kalau nggak ada aktris yang bisa memainkan peran Anya sebaik Asti. Disitu, saya merasa penasaran, sebagus apa sih aktingnya? Saya, yang itungannya jarang nonton film Indonesia, tidak terlalu akrab dengan Asti. Paling saya pernah nontonnya film dia tu Ada Apa Dengan Cinta ya. Jadi image nya Asti ini masih bener-bener fresh buat saya. Dan mungkin, setelah ini, saya harus berusaha memisahkan imej Anya dari Asti karena, seriously, aku pikir kak Ika nulis Critical Eleven ini sambil bayangin Adinia Wirasti. 

Terlebih lagi, Asti juga bisa mengimbangi akting Reza Rahadian - yang kalau saya bilang, di film ini - she exceeded him. Dan itu tidak gampang. Terakhir kali saya nonton Habibie Ainun, saya tidak merasa Bunga Citra Lestari bisa mengimbangi Reza Rahadian - dimana sampai akhir film saya tidak bisa mengerti kenapa Habibie bisa mencintai Ainun sedalam itu. Karakter Habibie yang dibawakan Reza terlalu kuat sehingga karakter Ainun yang dibawakan BCL sendiri 'ketutupan'. Hal itu tidak terjadi dalam Critical Eleven ini. 

Emosi Ale dan Anya yang dibawakan Reza dan Asti ini juga berasa banget. Happy-nya, sedihnya, marahnya, passionate-nya, kecewa-nya, awkward-nya, semuanya tergambarkan dengan apik di raut wajah masing-masing. Pas banget. Saya, bisa hanyut begitu saja dalam emosi tokoh-tokohnya, ikutan happy, ikutan malu, ikutan tengsin, ikutan 'Oops'... Bahkan saya pikir, all tears in the movie is real. Saya kudu mati matian menahan air mata karena saya nonton sama adek saya - yang kalau saya nangis bakal diledekin abis-abisan sama dia. And, I was thinking that all the kiss, all the hug, and love, are real. They kiss not because the script told them to, they kiss because a kiss is the only proper way to express those kind of emotion. So you can differentiate which one is the real kiss, which one is not. 

Karena kerennya tokoh-tokoh ini mendeliver emosi, saya sampai merasa kalau dialog itu ya cuma jadi pelengkap aja, dari ekspresi pemainnya itu sudah bisa terbaca. Meskipun begitu, dialog pun menjadi poin yang saya kagumi juga disini. Dialognya begitu mengalir, begitu natural, nggak lebay. Nggak perlu teriak-teriak pas marah atau sedih, nggak perlu berkata-kata kalau pas lagi adegan happy.

Bukan hanya Ale dan Anya, saya juga appreciate dengan tokoh-tokoh lain, terutama keluarganya Ale. Ibu dan bapaknya Ale tuh ya... mereka bisa mempertahankan popularitas sampai sekarang ya memang bukan nggak ada alasan. Mereka itu terasa sebagai bagian dari cerita, bukan pelengkap atau mandatory (karena di novel ada) saja. Namun, saya pikir ada beberapa tokoh yang kesannya dekoratif saja, bukan berarti aktingnya jelek atau gimana ya tapi tokoh ini serasa tidak ter-attach dengan filmnya dan kalau tidak ada dia pun sepertinya tidak apa-apa. I'm not going to tell you who is he/she, nanti aja kalau filmnya udah nggak tayang di bioskop ya. 

Outfit yang dikenakan pemain-pemain filmnya, Asti terlihat modis - dan dengan pakaiannya, sepertinya bisa di define sendiri karakter Anya tuh seperti apa. Sementara Ale, meskipun bajunya kaos-kaos doang, kadang-kadang pake jaket, jadi memberikan kesan yang nggak lebay karena Ale pun pada dasarnya bukan orang yang neko-neko kan. Nobody's favorite. Pemain-pemain figurannya, mau yang bule atau yang lokal, semuanya bagus dan awkwardnya minimal banget. Saya curiga, apa ada casting even untuk pemain figurannya ya ?

Saya sudah merasa kalau filmnya ini tidak akan sama dengan novelnya. Terlihat dari setting cerita yang disajikan di teaser dan trailler yang menggambarkan kehidupan di New York padahal di novel settingnya adalah di Jakarta. Tapi mau New York atau Jakarta, tidak mengurangi esensi dari ceritanya. Setting cerita pun seolah-olah ikut menjadi bagian yang menyatu dari film. Bagaimana indahnya kota New York, Central Park, even tempat-tempat yang sebetulnya trivial seperti laundry room, park bench, cafe itu berasa banget New Yorknya. Saya tahu satu film yang gembar gembor syuting di New York tapi esensi New York nya itu ga dapet dan jadi kesannya buang-buang budget aja syuting jauh-jauh. Saya juga suka perpindahan color tone nya. Ketika kesedihan mereka dimulai, tone filmnya jadi lebih gloomy, lebih biru, padahal sebelumnya warnanya lebih orange-ish yang cerah. Ini keren banget lah.

Daripada di novelnya yang banyak menampilkan flashback dari tokoh-tokohnya, film Critical Eleven ini lebih mengarah ke sebuah perjalanan, sehingga dari awal penonton sudah diperkenalkan dan akrab dengan tokoh-tokohnya dan bisa mengikuti perjalanan mereka sampai akhir. Novel Critical Eleven mungkin berupa serangkaian pemikiran - sedangkan filmnya lebih ke serangkaian action. Film nya mengupas cerita Critical Eleven dengan sisi yang berbeda, namun dengan inti yang tetap sama. Seperti dua sisi koin, meskipun kedua sisinya berbeda, namun itu tetap koin yang sama. Saya pikir, film ini merupakan pelengkap yang wajib ditonton buat para penggemar karya kak Ika, terlebih, Critical Eleven. 

P.S: When they told you that it is 17+ movie, itu berarti film ini ditujukan bagi penonton yang sudah berusia 17 tahun ke atas. Jujur, pas di bioskop agak terganggu gara gara beberapa anak sekolahan yang lebay banget tiap ada adegan yang mesra :(




1 komentar:

  1. Keren reviewnya, Kak. Aku sendiri ngerasain naik-turunnya emosi di film ini. Btw aku belum baca novelnya, jadi penasaran deh, Kak. Hehe.

    BalasHapus