Kau
sudah sampai? Maaf, aku sepertinya terlambat. Tapi mungkin tidak terlalu lama.
Tunggu ya. Maaf.
Kursi itu kosong. Kursi
dengan serat kain pelapis berwarna biru laut yang telah kuhafal diluar kepala
polanya. Kursi yang terletak di belakang setangkai bunga lili hitam yang selalu
kuacuhkan keberadaannya, berapa kalipun aku meminta seseorang untuk
meletakkannya disana. Kursi dengan pemandangan danpung – daun-daun yang memerah
- pada musim gugur Seoul yang indah di
balik jendela.
Sesekali aku melirik
arloji di tanganku, sesekali melirik goguma
latte berwarna keunguan yang kini mulai mendingin tanpa pernah kusentuh,
tapi tak lama. Busa susu yang menghiasi permukaan latter itu berbentuk daun
maple khas musim gugur, dengan enam ruas jari yang sudah kuhafal diluar kepala.
Aku menunggu sudah lama. Aku bahkan menolak untuk mengecek sudah berapa lama
aku duduk disini. Menatap kursi kosong, momiji, dan latte dihadapanku
berganti-gantian. Tapi kursi di hadapanku entah bagaimana merebut perhatianku
paling banyak dengan mudahnya. Seharusnya ada seseorang disana. Seseorang yang
berjanji akan tiba sejak satu jam yang lalu. Satu menit, dua menit, tiga menit,
aku mengatur posisi dudukku. Empat menit, lima menit, enam menit, aku menukar
tangan yang kupakai untuk menopang daguku. Gusar, kuambil ponselku.
Maaf
ya, kau ingat Pak Kim kan? Bos-ku? Tiba-tiba dia memberiku setumpuk dokumen.
Aku pasti datang, tunggu ya.
Aku melengos kesamping.
Berulangkali mambaca pesan yang masuk darimu.
Daun-daun momiji itu
bergerak, seolah menari mengikuti irama kemana angin membawanya. Aku suka musim
gugur. Kamu tahu itu pemandangan itu, pemandangan daun maple berwarna kemerahan itu, adalah favoritku. Kamu tahu itu
adalah alasan kenapa meja ini menjadi kesukaanku. Tapi dibandingkan semua itu,
kau paling tahu, alasan utama aku begitu menyukai musim gugur diantara semua
musim adalah, karena hari ulangtahunku ada di musim gugur. Kamu tahu.
Dari segala hal yang kau
tahu tentangku, aku berharap kamu mengetahui dan selalu mengingat satu hal.
Aku, paling benci menunggu. Dan aku, benci kamu yang selalu membuatku menunggu.
Sebentar
ya, Pak Kim berulah. Aku sudah mau keluar kantor tapi… ah, pokoknya tunggu aku!
Aku menatap layar ponsel,
menatap ke arah pesan yang kau kirimkan. Kemudian aku meletakkannya di sebelah sweet potato latte ku. Berapa kali harus
kuingatkan padamu, kalau membuat wanita menunggu itu tidak sopan? Kalau bilang
bertemu jam empat, ya jam empat!
Hari ini Pak Kim. Kemarin
Pak Park. Kemarinnya lagi Pak Choi. Kemarinnya kemarin kemarin lagi Kagawa-san,
bosmu yang katanya dari Jepang itu. Sebenarnya ada berapa banyak sih, kambing
hitammu? Kamu tahu, aku sering curiga kalau kamu punya satu daftar panjang
berisi nama-nama orang dikantormu yang bisa kau gunakan sebagai salah satu
kambingmu. Tidak usah heran bagaimana aku bisa tahu. Aku bahkan curiga apakah
orang yang bernama Pak Choi dan Kagawa-san itu memang benar-benar ada atau
tidak. Aku tahu sebenarnya Pak Kim tidak ada disampingmu. Kepercayaanmu padamu
sudah hilang semenjak dulu kau pernah bilang kalau Pak Kim memberimu pekerjaan
mendadak, padahal hari itu kita sudah ada janji mengunjungi aquarium. Kemudian
aku merubah rencana, pergi ke apartemenmu, berniat menyiapkan kejutan dengan
membereskan kamarmu, dan menyiapkan bulgogi kesukaanmu, sebuah kencan di
apartemenmu yang sederhana. Aku berekspektasi mengenai kamar apartemenmu yang
berantakan. Tapi yang kulihat pertama kali di apartemenmu adalah kamu, pulas
tertidur di balik selimutmu. Kemudian kamu mengaku, sebenarnya tidak ada
pekerjaan dari Pak Kim, hanya saja, hari ini kamu merasa kamu ingin tidur
seharian. Aku tahu kalau sekarang, sebenarnya
kau masih menunggu bus di dekat apartemenmu, karena kau baru baru bangun
setengah jam yang lalu, kan?
Sudah berapa kali
kubilang kalau janjian jam empat, itu artinya sudah tiba di lokasi jam empat?
Bukannya baru berangkat
dari rumah jam empat!
Aku akhirnya mengaduk-aduk
latte ku gusar, merusak gambar daun maple yang dibuat barista itu dengan busa
susu. Ini sudah jam lima, asal kau tahu. Aku men-scroll layar ponselku, melihat
pesan kedua yang kau kirimkan.
Jangan
marah, ya. Kali ini benar-benar tidak bisa ditolong. Pak Kim…
Oh, bagus, sekarang kau
menyuruhku supaya tidak marah padamu?
Asal kamu tahu,
kekesalanku sudah sampai ubun-ubun. Ini bukan tentang kamu yang datang
terlambat. Tapi kamu yang selalu
datang terlambat. Tidak pernahkah kamu menyediakan sedikit saja waktu untuk
bersiap-siap dan menemuiku tepat waktu? Jangankan janji bertemu. Janji telepon
saja sukanya terlambat. Kalau sudah tidak di rumah, bukan Pak Kim lagi yang
jadi kambing hitamnya. Kalau kau sudah di rumah, semuanya tentang game. Tentang
acara televisi. Tentang komik. Terkadang aku mengasihani diriku sendiri.
Bagaimana bisa aku cemburu pada game robot yang ada di ponselmu, atau pada Im
Yoona di liputan SNSD di layar kacamu? Jadwal telepon yang tadinya direncanakan
jam delapan bisa mundur ke jam sembilan. Atau ke jam sepuluh. Atau ke jam dua
belas. Atau rencana telepon itu hanya berujung menjadi catatan panggilan tak
terangkat di teleponku karena aku sudah lelah menunggu.
Kenapa
kau tidak membalas pesanku? Kamu marah ya? Maaf, ini benar-benar tidak bisa
tertolong. Tapi aku akan sampai lima menit lagi. Jadi mohon sabar ya. Maafkan
aku.
Aku menghela nafas, memohon,
hari ini saja. Di tahun 2013 ini, di hari ulangtahunku yang ke dua puluh enam
ini, aku mohon jangan nomor duakan aku. Jangan nomor duakan aku dengan Pak Kim
mu. Jangan nomor duakan aku dengan komik, game, dan acara-acara televisi
favoritku. Tidak, aku tidak mengharapkan kamu akan tiba-tiba datang dan
memberikan sebuah cincin dan melamarku sebagai hadiah ulangtahunku. Bukan itu
yang aku butuhkan. Aku hanya butuh kamu, disini, tepat waktu. Itu saja.
Bagimu mungkin sepele.
Kamu dan keterlambatanmu, terkadang membuatku bertanya-tanya. Apakah kau serius
kepadaku? Apakah kau pernah benar-benar menyisihkan waktumu, untukku? Apakah
kamu, pernah, sekali saja, menomorsatukanku disbanding hal-hal yang lebih
menarik perhatianmu.
Dan kau tahu? Ini hari
spesialku. Ini hari ulangtahunku. Tidak bisa?
Aku
sudah di bus menuju kesana. Tunggu ya, 10 menit 10 menit!
Alasan.
--
“Maaf, kami sudah mau
tutup.”
Suara pelayan itu
mengagetkanku. Entah sejak kapan, beralaskan meja, aku tertidur. Setengah
sadar, aku menatap wajah pelayan itu. Lalu kualihkan pandanganku pada kursi
dihadapanku.
Kursi itu masih kosong. Dan aku masih hafal pola kain yang terukir di
pelapis biru kursi itu. Sudah berapa lama ya aku tertidur? Dan kamu…. Mana?
Katanya sepuluh menit….
“Ah, maaf,” ujarku pada
sang pelayan. Pelayan itu, pelayan
dengan wajah tak asing itu, memberiku senyuman prihatin yang lembut.
Aku membetulkan posisi
dudukku, memberikan isyarat pada pelayan tersebut untuk mengangkat cangkir
latte yang bahkan belum setengahnya kuminum. Dengan sigap, ia mengangkat
cangkir putih itu ke nampannya, berhati-hati agar cangkir itu tidak terjatuh
padaku.
“Dia tidak akan datang,”
pelayan itu berujar dengan suaranya yang lemah. Pandangannya tertuju pada
nampan yang sedang dipegangnya. “Bukankah ini… sudah tiga tahun?” Pelayan itu
berujar hati-hati.
Tiga tahun?
Aku menatap pelayan itu
bingung. Aku pasti masih berada di alam perbatasan sadar dan tidak sadar. Kamu
bilang, 10 menit lagi kan?
Aku mengeluarkan
ponselku, mengecek jam. Saat layar ponsel menyala, layarnya tepat memamerkan
pesan darimu. Bagian kanan atas layar menunjukkan pukul 9 malam. Aku men-scroll ke bawah pesan
darimu.
Terakhir kali, kamu
mengirimkan pesan pada jam 5.25.
Tiga tahun yang lalu.
Sekelibat memori
menghantam kepalaku secara bertubi-tubi. Memori tentang bagaimana aku keluar dari
kafe, hanya untuk melihat orang-orang mengerumunimu. Mengerumuni tubuhmu di
pinggir jalan, bersimbah darah. Aku tak tahu apa yang sebelumnya terjadi
kepadamu, dan kenapa kau tidak kunjung membuka kelopak matamu. Kepalaku pusing,
mataku kian gelap. Dari sudut mataku, aku bisa melihat kotak velvet kemerahan
yang menyembul dari saku formal suit yang kaukenakan, yang kini sudah bernoda
darah di beberapa bagian. Sebuah kotak cincin.
Memoriku berhenti disitu.
-
Ini rahasia, mungkin cuma
aku dan pelayan kafe ini yang tahu. Setahun sekali, di hari yang sama, di jalan
yang sama, aku pergi ke tempat yang sama. Berharap bahwa kali ini, endingnya
akan berbeda.
Berharap kamu akan muncul
dari balik pintu, dengan senyum canggungmu yang membuatku jatuh cinta. Lalu aku
membalas senyummu, lalu kau akan bercerita tentang bagaimana Pak Kim menahanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar