Kau
sudah sampai? Maaf, aku sepertinya terlambat. Tapi mungkin tidak terlalu lama.
Tunggu ya. Maaf.
Kursi itu kosong. Kursi
dengan serat kain pelapis berwarna biru laut yang telah kuhafal diluar kepala
polanya. Kursi yang terletak di belakang setangkai bunga lili hitam yang selalu
kuacuhkan keberadaannya, berapa kalipun aku meminta seseorang untuk
meletakkannya disana. Kursi dengan pemandangan danpung – daun-daun yang memerah
- pada musim gugur Seoul yang indah di
balik jendela.
Sesekali aku melirik
arloji di tanganku, sesekali melirik goguma
latte berwarna keunguan yang kini mulai mendingin tanpa pernah kusentuh,
tapi tak lama. Busa susu yang menghiasi permukaan latter itu berbentuk daun
maple khas musim gugur, dengan enam ruas jari yang sudah kuhafal diluar kepala.
Aku menunggu sudah lama. Aku bahkan menolak untuk mengecek sudah berapa lama
aku duduk disini. Menatap kursi kosong, momiji, dan latte dihadapanku
berganti-gantian. Tapi kursi di hadapanku entah bagaimana merebut perhatianku
paling banyak dengan mudahnya. Seharusnya ada seseorang disana. Seseorang yang
berjanji akan tiba sejak satu jam yang lalu. Satu menit, dua menit, tiga menit,
aku mengatur posisi dudukku. Empat menit, lima menit, enam menit, aku menukar
tangan yang kupakai untuk menopang daguku. Gusar, kuambil ponselku.
Maaf
ya, kau ingat Pak Kim kan? Bos-ku? Tiba-tiba dia memberiku setumpuk dokumen.
Aku pasti datang, tunggu ya.
Aku melengos kesamping.
Berulangkali mambaca pesan yang masuk darimu.