Waktu saya masuk Undip pertama kali, lulus cepat adalah
target utama saya. Saya bertekad harus menyelesaikan kuliah dalam waktu 4
tahun, nggak boleh lebih. Tapi, apa yang saya rencanakan ya tinggal rencana. Banyak orang yang bilang, dengan berkuliah,
kita selangkah lebih dekat dengan dunia nyata, dunia kerja. Kebanyakan orang
yang saya kenal memang sudah merencanakan kalau mereka bakal langsung bekerja
setelah lulus kuliah, dan, kalau bisa, tentunya di perusahaan yang bonafid.
Singkatnya, karena kepergian saya ke Korsel tahun lalu, saya
mesti mengulang beberapa mata kuliah berhubung mata kuliah tersebut nggak bisa
di transfer. Saya sudah tahu resiko ini sejak awal saya mendaftar program
pertukaran pelajar sampai akhirnya terpilih. Cuma, ternyata sensasi ‘mengulang’
itu baru kerasa sekarang. Waktu masuk kelas, nggak ada yang dikenal. Waktu kuliah
kosong, jadi satu-satunya orang yang masuk kelas karena nggak dapat informasi…
hal-hal seperti itu udah jadi makanan sehari-hari.
Sering, saya iri sama teman-teman yang sudah selesai sidang skripsi.
Atau yang sudah selesai ujian komprehensif. Atau bahkan sama teman-teman yang
bab 1 nya sudah di Acc, sementara saya maju dari rumusan masalah saja belum.
Yang sudah pada lulus sidang, yang udah pada ketemu tanda Acc, gimana rasanya
ya? Selangkah lebih dekat sama kelulusan. Dan lulus kali ini, sedikit berbeda
dengan lulus-lulusan seperti waktu SD, SMP, SMA. Dan saya hidup di masyarakat
yang rasa penasarannya sudah jadi budaya. Masyarakat tempat saya tinggal adalah
masyarakat yang selalu bertanya.
“Kapan wisuda?”
“Kerja dimana?”
“Mau kuliah lagi atau langsung kerja?”
“Atau mau langsung nikah aja?”
--
Waktu saya pulang, banyak orang tanya-tanya sama saya
tentang bagaimana Korea, bagaimana hidup saya disana, bagaimana kuliah saya
disana, dan lain sebagainya. Sampai akhirnya, orang-orang itu kemudian bertanya
tentang bagaimana kuliah saya, di Indonesia. Setelah saya bilang, saya harus
mengulang, tentu reaksinya macem-macem.
“Oh, berarti lulusnya ketunda dong?”
Atau
“Oh, enak ya ke Korea, tapi lulusnya jadi telat dong ya?”
Awalnya saya cuma bisa sebel dan gak bisa ngelawan, karena
ucapan itu nggak sepenuhnya benar dan nggak sepenuhnya salah. Mahasiswa, mana ada yang pengen lama-lama kuliah? Sedikit banyak,
omongan-omongan orang itu mempengaruhi saya. Saya nggak bisa menghindari
pikiran-pikiran tentang ‘hayo, lulus nya telat’ , ‘hayo, nanti sidang nggak ada
yang dateng’ atau ‘hayo, nanti wisuda nggak ada yang kenal’ dan lain
sebagainya.
Lulus tepat waktu, atau lulus di waktu yang tepat?
Kemudian saya sampai pada pertanyaan itu. Pertanyaan yang
dilontarkan oleh seorang teman dalam status facebooknya.
Apakah dengan saya lulus di tahun 2014 kemudian membuat saya
dapat predikat sebagai ‘lulusan yang tepat waktu’? Siapa sebenarnya yang
menetapkan standar kuliah harus empat tahun?
Mungkin tulisan ini cuma penghiburan atas rasa iri saya
semata, atas teman-teman yang berhasil lulus tepat waktu. Di waktu yang pada awal masuk kuliah saya
targetkan untuk lulus. Saat ini, saya mencoba untuk berpikir positif, berpikir
hal yang baik tentang hidup saya. Yang jelas, saya nggak mau satu tahun yang
tertinggal ini menjadi hal yang sia-sia.
Orang-orang menganggap, pulang dari luar negeri, bahkan
sebelum lulus kuliah adalah sesuatu yang menjamin masa depan. Saya sendiri
nggak tahu mesti berpendapat apa tentang hal ini, saya rasa saya masih belum
sampai pada sesuatu yang dinamakan ‘masa depan’ itu. Mendapatkan kesempatan
untuk punya pengalaman tinggal di negeri orang dengan jangka waktu yang lumayan
tentu hal yang patut saya syukuri. Tapi percaya deh, ini nggak sepenuhnya benar
juga. Di Korea, saya bertemu dengan orang-orang yang hebat, kakak-kakak S2 dan
S3, atau teman-teman yang sama-sama sedang menempuh bachelor degree alias S1,
atau para pekerja yang merelakan dirinya berpisah dari keluarga untuk mencari
nafkah di negeri orang…. Somehow it scares me. Bertemu dengan mereka bikin saya
berpikir kalau, ah, saya memang belum ada apa-apanya… Cuma pertukaran pelajar sih semua orang juga
bisa, jaman sekarang, kalau punya uang, apa sih yang nggak bisa…
Saya masih harus banyak belajar. Banyak berjuang. Banyak
berusaha. Banyak berdoa. Menghadapi masa depan yang ada di depan mata.
Mungkin, lulus di tahun 2014, simply bukan rejeki saya.
Mungkin lulus di tahun 2015 adalah rejeki saya karena saya bisa punya banyak
kesempatan untuk ikut ini itu sampai tahun 2015 itu datang. Mungkin, satu tahun
yang tertinggal ini adalah rejeki saya, rejeki waktu yang berlebih untuk
memperindah CV saya. Mungkin dengan lulus tahun depan, saya bisa memanfaatkan
status saya sebagai mahasiswa sebaik dan sebanyak mungkin. Dan mungkin, satu
tahun yang tertinggal ini adalah rejeki saya, yang diberikan oleh Yang Maha
Kuasa untuk saya berpikir lebih jauh tentang masa depan saya. Mau jadi apa saya
ke depannya. Dan ketika saya telah menetapkan mau jadi apa saya ke depannya,
satu tahun yang tertinggal ini jadi rejeki atas waktu yang diberikan untuk
mulai membekali diri saya sendiri untuk mencapai masa depan yang saya inginkan.
Sekedar pembelaan, di Korea, mahasiswa disana umum lho mengambil cuti satu tahun. Satu tahun itu mereka pakai buat mempelajari spek-spek yang dibutuhkan saat melamar kerja nanti, misalnya Tes TOEIC, ikutan pelatihan ini itu, atau pertukaran pelajar ke Eropa dan Amerika... hehehe
Dan ketika saya lulus tahun depan, saya harap itu adalah hari ketika saya bisa menyebutnya sebagai "saya lulus di waktu yang tepat."
ya ampun ka adis, erte banget :") jangan sampe waktu lulus yang nggak bareng sama temen2 itu menghilangkan banyak kesempatan. kalau udah lulus, belum tentu gajinya cukup buat dapet pengalaman ky kakak di LN :p kalau udah lulus tapi specnya kurang, belum tentu ada perusahaan/orang yang meminang. let's finish our journey togetha, onnie :")
BalasHapusKu doain lulus yo, salam Indonesia,
BalasHapusabaikan telat lulus, tapi pengalaman dikorea itu yang harus km banggain :p
BalasHapusStreaming gratis
That's Cool 😊kita mengalami hal yang sama :')
BalasHapusThat's Cool 😊kita mengalami hal yang sama :')
BalasHapus