Ketika pertama kali dengar kalau Critical Eleven akan diangkat ke layar perak, saya langsung memasukkan film ini ke dalam wishlist 2017 ini. Selain saya suka banget sama novelnya, woro-woro dari si penulisnya, Ika Natassa, yang cukup intens di social medianya juga bikin geregetan abis. Tapi, at the same time, saya juga nggak mau berekspektasi terlalu tinggi. Dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, film apapun, mau sekelas Twilight sekalipun, seringkali kurang nendang begitu diangkat jadi film. Jadi, sebelum masuk studio, saya berusaha untuk santai-santai saja.
Film ini dimulai dengan apik. Belum apa-apa saya sudah dibuat tersipu-sipu sama percakapan antara Ale dan Anya di pesawat, tempat dimana mereka bertemu. Di novel, kak Ika mengandalkan narasi untuk menggambarkan isi hati tokoh-tokohnya, itu juga yang menurut saya kekuatan dari novel-novelnya kak Ika, so the reader can feel the engagement with the book in their own way. Di novelnya, pembaca bisa tahu bagaimana isi hati dan jalan pemikiran tokoh-tokohnya. Isi hati dan jalan pemikiran tokoh ini yang nantinya menjadi dasar tindakan apa yang akan dilakukan si tokoh. Jadi pembaca bisa mengerti kenapa si Ale melakukan A, karena menurut pikiran dia A, kenapa si Anya melakukan B, karena menurut pikiran Anya ya B.