Rabu, 30 April 2014

Tentang Sinetron yang Berasal dari Bintang

credit by Soompi

Belakangan ini, baik di facebook maupun twitter saya lagi topik yang lagi nge-hits adalah sinetron yang baru-baru ini ditayangkan oleh satu stasiun TV swasta, yang menjiplak drama Korea yang dibintangi oleh Kim Soo Hyun. Bukan rahasia umum sih, tapi stasiun TV ini memang sering banget kesandung masalah yang berhubungan sama penjiplakan sinteron. Bahkan untuk kasus yang satu ini, beritanya udah masuk soompi dan naver yang merupakan situs berita yang cukup ternama di Korea Selatan sana. Jadi begitu liat ada temen saya yang masih di Korea men-share berita penjiplakan yang ditulis di naver dengan bahasa Korea, agak gimana juga bacanya. Link berita soompi nya bisa buka di sini


Malu? Pastinya. Tapi rasanya masalah penjiplakan drama ini bukan yang pertama kali. Saya masih ingat dulu ada sinteron spesial Hari Raya yang telak-telak menjiplak drama Jepang, 1 Liter of Tears. Awalnya saya nggak tahu kalau drama itu jiplakan, jadi saya sempat berbangga hati karena pada akhirnya ada sinetron Indonesia yang bagus juga. Tapi begitu stasiun TV swasta tetangganya menyiarkan versi asli dari dramanya, kepercayaan saya sama sinteron Indonesia hancur sudah /tsaah. Bukannya membandingkan, tapi yang original memang nggak bisa dibohongin. Dari segi cerita, pemain maupun aktingnya. Bicara akting, bisa saya bilang dua-duanya bagus lah, meskipun saat itu Glenn Alinskie, Haruto Asou versi Indonesia masih agak aneh baik aktingnya maupun cara bicaranya. Katanya sih karena dia udah kelamaan tinggal di luar negeri.

1 Liter of Tears. Cr: dramafans.org


Setelah sinteron yang ternyata menjiplak itu dihujat, stasiun TV ini nggak juga kapok. Drama-drama Korea jadi sasarannya. Oh iya, jangan lupa dengan F4 versi Indonesia yang saya lupa namanya. Itu lho, sinetron yang diperanin sama Roger Danuarta, Jonathan Frizzy sama Steven siapa itu. Dulu mungkin saya belum cukup umur, jadi nggak begitu aware sama isu penjiplakan. Yah, dulu sih saya ketawain aja, saya jadiin lucu-lucuan. Lalu muncullah sinteron lain jiplakannya My Girl - drama Korea yang diperankan oleh Lee Minki, Glass Shoes, dan masih banyak lagi. Saking seringnya, waktu ada drama yang dijiplak lagi, rasanya udah kebal. Paling cuma bisa komentar "Ah, udah biasa,"

Sebagai penikmat drama Korea, agak miris juga sih liat daftar drama yang ternyata jiplakan drama luar. Bukan, saya bukan membicarakan tentang kualitas pemain, akting atau jalan ceritanya. Miris karena saya mikir.... kenapa harus menjiplak? Segitu kehabisan idenya kah para penulis naskah? Atau, ini adalah salah satu strategi stasiun TV untuk mendongkrak rating?

Kemudian sinteronnya di hujat. Waktu soompi memberitakan bahwa empunya drama ini akan mengambil tindakan hukum, orang-orang, terutama para fangirl Korea garis keras berlomba-lomba mengatakan 'mampus lo' dengan cara sesadis mungkin (padahal yang ngomong begini masih bikin tugas dengan cara copy paste di Google dan lupa mencantumkan sumber kikikik) Terus pemainnya dihujat abis-abisan tentang betapa buruk aktingnya lah, dibanding-bandingin sama versi aslinya lah... 

Peristiwa ini bikin saya teringat satu waktu, saya ngobrol bareng temen saya, Ratna dan Isna. Ratna cerita, kalau dulu dia pernah ikutan sejenis workshop di Undip dimana Dennis Adhiswara yang jadi pembicaranya. Satu hal yang saya ingat tentang pembicaraan saya dan Ratna saat itu adalah, Dennis sempat bilang begini kira-kira:

Kami, yang bekerja di dunia hiburan, bukan berarti nggak tahu dan nggak peduli tentang kualitas sinetron Indonesia yang sering kalian cerca itu. Tapi coba pikir deh. Yang nonton TV di Indonesia kan bukan kalian saja. Kalian sih beruntung, bisa mengenyam pendidikan yang layak, jadi bisa membedakan mana tontonan yang bagus atau yang nggak. Tapi diluar sana, banyak orang Indonesia yang 'nggak sepintar kalian', dimana TV adalah satu-satunya penghiburan buat hidup mereka yang susah. Hidup mereka aja udah sulit, seharian bekerja, dengan beban tanggungan disana-sini. Masa harus kita 'persulit' lagi dengan sinetron kita? Kalau bahkan untuk nonton TV pun mereka harus mikir, kapan mereka dapat hiburannya? Cerita tentang orang miskin yang bisa pacaran dengan orang kaya, mungkin menurut kalian itu klise. Tapi cerita itulah yang memberikan harapan buat mereka, kalau hidup mereka bisa jadi lebih baik.

Jujur, statemen Dennis Adhiswara yang saya dengar dari Ratna itu benar-benar menusuk. Dulu, sebagai penikmat drama dan film, saya mati-matian mencerca sinetron Indonesia yang nggak masuk akal lah, nggak ada mutunya lah, ceritanya yang gampang ketebak lah, tokohnya terlalu Mary Sue lah, lebay lah, apalagi sinetron yang menjiplak drama luar. Setelah saya pikir, ya mungkin saya harus maklum dengan kondisi perfilman Indonesia yang seperti ini. Dengan kondisi mayoritas orang Indonesia yang seperti ini. Saya tahu sinetron-sinteron itu jiplakan karena saya dikelilingi orang-orang yang punya perhatian dan pengetahuan lebih tentang perfilman. Bagaimana orang-orang yang enggak? 

Nggak semua orang bisa streamingan, bisa download drama-drama yang kita anggap bagus dan pintar loh. Bahkan mungkin buat sebagian orang, mereka nggak tahu kalau mereka juga bisa nonton pake internet..

Dan kalaupun mereka tahu itu sinetronnya jiplakan, apa mereka bakal mikir dua kali? Nggak kan? Mereka aja masih mikir gimana caranya hidup besok, mana kepikiran komplain tentang penjiplakan sinetron.

Seperti yang saya post sebelumnya, tentang ego trap. Mentang-mentang kita suka sama sinetron atau film yang 'pintar' dan 'masuk akal', kita memandang sebelah mata sama orang-orang yang nggak satu pandangan dengan kita. Lupa mempertimbangkan bagaimana kondisi orang-orang disekeliling kita.

Saya pribadi sih nggak bermaksud menyetujui atau mendukung sinteron yang katanya ngejiplak ini. Saya cuma berusaha untuk maklum sama keadaan yang seperti ini. Memang kita nggak bisa terus-terusan maklum,  tapi bukan berarti kita harus menodongkan telunjuk kita mencari siapa yang salah atau siapa yang bisa dikambinghitamkan. Kita sering lupa ketika kita mengeluarkan jari telunjuk kita, sesungguhnya ada tiga jari lain yang mengarah ke diri kita sendiri.  Rumah produksi atau stasiun TV nggak bakal bikin sinteron kalau ratingnya nggak prospektif toh ? 

Prihatin memang, dan semoga banyak anak muda yang merasakan hal yang sama. Bukan, saya nggak bermaksud menyindir bapak Presiden tercinta. Semoga rasa prihatin ini nggak cuma berujung pada lomba sadis-sadisan hujatan yang ditampilkan di akun sosmed masing-masing. Semoga dengan banyaknya anak muda yang prihatin, tak terkecuali saya, bisa menghasilkan perubahan yang lebih baik untuk negara kita ke depannya. Bagaimanapun, menjiplak itu proses belajar yang paling awal kan ?

Dan believe it or not, waktu buka situs soompi yang tadi, mayoritas para commenters nya adalah orang Indonesia sendiri "I am so ashamed" dan "I hate Indonesian dramas!"  adalah dua tipe comments yang memenuhi ruang komentar di artikel tersebut. Dan semakin banyak komentar, popularitas artikel itu akan semakin terangkat. Semakin banyaklah orang yang penasaran sama berita tersebut. Jadi, sebenarnya yang ngompor-ngomporin siapa ya?

Karena menjiplak, kita menganggap betapa 'kotornya' industri perfilman kita. Tapi, coba deh sekali-sekali meluangkan waktu, cari tahu apa peristiwa kayak begini cuma terjadi di Indonesia. 

Sebagai bocoran, saya pernah dengar langsung dari teman Jepang saya yang bilang begini

"Orang Korea suka banget menjiplak kreatifitas orang Jepang. Entah itu film, lagu, pokoknya banyak,"

See? 

1 komentar:

  1. Bukan koq, bukan karena kita yg naif menuntut tayangan lebih bermutu karena perbedaan kelas sosial, tetapi sistem rating yg digunakan di Indonesia juga punya permainan:
    http://sunardian.blogspot.co.id/2012/08/agb-nielsen-rating-palsu-televisi.html?m=1

    Responden rating yg dipakai cuma dari kelas menengah bawah dgn latar pendidikan yg rendah, kalau sudah begini kita ga bisa berharap lagi kalo acara tv yg tayang di tv lokal diperuntukkan pd orang yg berpendidikan, hiburan yg pantas untuk mereka yg berpendidikan tinggi hanya ada di tv kabel berbayar channel luar negeri.
    Saya juga baru mempelajari bahwa sistem rating di Turki saja membagi orang yg disurvey dgn status sosial & tingkat pendidikannya (baca komentar dari kenalan saya di FB yg orang Turki).

    PH dan pengiklan juga sebenarnya g bebas dari masalah, pemasang iklan berburu rating tinggi, production house hanya ingin untung, namun karena kualitas acara mayoritas berselera rendah, maka pemasang iklan yg datang hanyalah iklan2 produk murah. Iklan2 mahal yg ditujukan untuk orang kaya seperti iklan mobil, perumahan & sebagainya enggan memasang iklan mereka karena tidak akan menguntungkan mereka. Beberapa production house sudah ada yg mengeluhkan hal ini, mereka berniat membuat acara tv yg lebih berkualitas, namun karena lagi2 mereka berpatokan pada rating, mereka tidak berani memulainya (dgn kata lain tidak mau ambil risiko dan merugi).

    Intinya mental siapakah yg harus berubah?Bukan koq, bukan karena kita yg naif menuntut tayangan lebih bermutu karena perbedaan kelas sosial, tetapi sistem rating yg digunakan di Indonesia juga punya permainan:
    http://sunardian.blogspot.co.id/2012/08/agb-nielsen-rating-palsu-televisi.html?m=1

    Responden rating yg dipakai cuma dari kelas menengah bawah dgn latar pendidikan yg rendah, kalau sudah begini kita ga bisa berharap lagi kalo acara tv yg tayang di tv lokal diperuntukkan pd orang yg berpendidikan, hiburan yg pantas untuk mereka yg berpendidikan tinggi hanya ada di tv kabel berbayar channel luar negeri.
    Saya juga baru mempelajari bahwa sistem rating di Turki saja membagi orang yg disurvey dgn status sosial & tingkat pendidikannya (baca komentar dari kenalan saya di FB yg orang Turki).

    PH dan pengiklan juga sebenarnya g bebas dari masalah, pemasang iklan berburu rating tinggi, production house hanya ingin untung, namun karena kualitas acara mayoritas berselera rendah, maka pemasang iklan yg datang hanyalah iklan2 produk murah. Iklan2 mahal yg ditujukan untuk orang kaya seperti iklan mobil, perumahan & sebagainya enggan memasang iklan mereka karena tidak akan menguntungkan mereka. Beberapa production house sudah ada yg mengeluhkan hal ini, mereka berniat membuat acara tv yg lebih berkualitas, namun karena lagi2 mereka berpatokan pada rating, mereka tidak berani memulainya (dgn kata lain tidak mau ambil risiko dan merugi).

    Intinya mental siapakah yg harus berubah?

    BalasHapus